Selasa, 06 Januari 2015

REVIEW Tanah Surga katanya


Review Film
       Film “Tanah Surga katanya..” menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga kecil yang tinggal di perbatasan antara malaysia dan Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan. Mulai dari pendidikan, teknologi, ekonomi, kesehatan bahkan sampai dengan nasionalisme masyarakat perbatasan semuanya dikemas  dengan sangat bagus. Alur film ini yang sangat rapi dan teratur ditambah pula dengan sedikit  komedi membuat film ini layak ditonton oleh semua kalangan usia.
        Di perbatasan inilah banyak segi kehidupan tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia yang ada didaerah perkotaan. Hidup di perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dan pendidikannya. Di zaman sekarang ini, perhatian masyarakat kebanyakan adalah pada kehidupan di ibukota atau kehidupan metropolit  Akan tetapi pada film ini  mengisahkan masyarakat yang tinggal didaerah tersebut yang merupakan warga Indonesia tidak mengerti,tidak memahami bahkan tidak hafal dengan lagu kebangsaannya sendiri yaitu lagu “ INDONESIA RAYA “ . Didalam perekonomian masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk mempertahankan hidup nya, tidak mengenal mata uang negaranya dan bangga terhadap mata uang Negara lain yaitu Malaysia. 
      Di film ini diceritakan mantan sukarelawan Indonesia Malaysia  bernama Hasyim tahun 1965 hidup dengan kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia memutuskan untuk tidak menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga menduda  yang bernama Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina. Hidup di perbatasan Indonesia Malaysia membuat mereka  harus lebih kaut dalam menjalani kehidupan didaerah terpencil,, yang serba kekurangan akan tetapi  karena keteguhannya pada bangsa dan  Cinta Negara Indonesia membuat Hasyim bertahan tinggal.Haris anak Hasyim, memilih hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia jauh lebih memberi harapan bagi masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak seluruh keluarga pindah ke Malaysia termasuk bapaknya. 
         Selain itu pada kisah ini juga menceritakan Astuti,  yaitu seorang guru sekolah dasar di kota yang  datang tanpa direncanakannya. Ia mengajar di sekolah yang hampir roboh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang dr. Anwar, seorang dokter muda datang ke daerah itu, karena tidak mampu bersaing sebagai dokter professional di kota. Salman dan Salina gembira hatinya karna kedatangan guru Astuti dan dr. Anwar, yang oleh penduduk dikenal dengan sebutan dokter intel.
Setelah beberapa hari dr. Anwar bertugas didaerah tersebut akhirnya  diketahui bahwa Hasyim mengidap penyakit yang membahayakan bagi hidupnya dan dokter intel itu mengharapkan Hasyim dibawa  untuk mendapatkan pengobatan yang lebih layak .Salman berusaha memenuhi kebutuhan selama di perjalanannya  yaitu 400 ringgit uang yang diperlukannya.
        Suatu hari ketika Haris mengajak Salina, salman dan hasyim untuk pindah ke Malaysia, ajakan itu pun ditolak oleh H asyim, karena tak ingin meninggalkam kampunh halamannya dan Negara tercintanya. Ia mengatakan, sejelek apapun daerahnya, tak kan pernah berniat untuk meninggalkan ngara tercinta ynag memiliki segudang kekayaan alam yang telah memberikan kehidupan baginya. Melihat keteguhan hati sang kakek ,, akhirnya salman pun mengikuti kakeknya utuk tetap tibggal didaerah operbatasan tersebut.Saat Salina bersama ayahnya Haris berada di Malaysia,Sakit yang di diderita Hasyim pun kambuh, Salmanpun bingung dan memanggil dokter intel. Salman dan dr. Intel membawa Hasyim kerumah sakit ketika di perjalanan bensin yang ada pada deasel perahu yang ditumpangi habis.Ketika dalam perjalan tersebut , Hasyim pun meninggal, dan membuat salman bersedih. Saat itulah membuat sadar ayahnya haris untuk kembali ke Indonesia.
          Di dalam film ini terdapat sindiran-sindiran untuk pemerintah Indonesia tentang kesejahteraan masyarakat pinggiran yang seakan-akan terabaikan, seperti misalnya kenyataan bahwa orang di pinggiran sana memakai uang ringgit untuk bertransaksi sehari-hari. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, mereka harus berdagang ke Malaysia dan barang-barang untuk kebutuhan sehari-harinya pun juga didapatkan dari pasar Malaysia bukannya dari Indonesia dan tidak jarang pula mereka ditipu oleh pedagang Malaysia. Begitu pula dalam hal teknologi, di film ini digambarkan bahwa di daerah perbatasaan sana teknologi sangat tertinggal jauh, untuk berkomunikasi saja masih menggunakan radio dan yang memiliki TV hanya ketua dusun saja. Lalu, yang paling parah adalah ketika mereka tidak tahu bagaimana bentuk bendera pusaka Indonesia dan juga tidak tahu lagu kebangsaan Indonesia Raya karena minimnya pendidikan di sana. Sebenarnya, sindiran itu sudah bisa dirasakan hanya dari membacanya judulnya saja, Tanah Surga… Katanya. Namun, sindiran-sindiran tadi bukanlah hanya sekedar sindiran semata melainkan pesan langsung yang dikemas  melalui sebuah film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar