Review Film
Film “Tanah Surga katanya..”
menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga kecil yang tinggal di perbatasan
antara malaysia dan Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan. Mulai dari
pendidikan, teknologi, ekonomi, kesehatan bahkan sampai dengan nasionalisme
masyarakat perbatasan semuanya dikemas
dengan sangat bagus. Alur film ini yang sangat rapi dan teratur ditambah
pula dengan sedikit komedi membuat film
ini layak ditonton oleh semua kalangan usia.
Di perbatasan inilah banyak segi
kehidupan tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia yang ada didaerah
perkotaan. Hidup di perbatasan
Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih didominasi oleh
keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dan pendidikannya. Di
zaman sekarang ini, perhatian masyarakat kebanyakan adalah pada kehidupan di
ibukota atau kehidupan metropolit Akan
tetapi pada film ini mengisahkan masyarakat
yang tinggal didaerah tersebut yang merupakan warga Indonesia tidak
mengerti,tidak memahami bahkan tidak hafal dengan lagu kebangsaannya sendiri
yaitu lagu “ INDONESIA RAYA “ . Didalam perekonomian masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk mempertahankan hidup nya, tidak
mengenal mata uang negaranya dan bangga terhadap mata uang Negara lain yaitu
Malaysia.
Di film ini
diceritakan mantan sukarelawan Indonesia Malaysia bernama
Hasyim tahun 1965 hidup dengan
kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia memutuskan untuk tidak
menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga menduda yang bernama Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina. Hidup di
perbatasan Indonesia Malaysia membuat mereka
harus lebih kaut dalam menjalani kehidupan didaerah terpencil,, yang
serba kekurangan akan tetapi karena
keteguhannya pada bangsa dan Cinta
Negara Indonesia membuat Hasyim bertahan tinggal.Haris anak Hasyim, memilih
hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia jauh lebih memberi harapan bagi
masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak seluruh keluarga pindah ke Malaysia
termasuk bapaknya.
Selain itu pada kisah ini juga menceritakan Astuti, yaitu seorang guru sekolah dasar di kota yang datang tanpa direncanakannya. Ia mengajar di
sekolah yang hampir roboh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang
dr. Anwar, seorang dokter muda datang ke daerah itu, karena tidak mampu
bersaing sebagai dokter professional di kota. Salman dan Salina gembira hatinya
karna kedatangan guru Astuti dan dr. Anwar, yang oleh penduduk dikenal dengan
sebutan dokter intel.
Setelah beberapa hari dr. Anwar bertugas didaerah tersebut akhirnya diketahui bahwa Hasyim mengidap penyakit yang
membahayakan bagi hidupnya dan dokter intel itu mengharapkan Hasyim dibawa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih layak
.Salman berusaha memenuhi kebutuhan selama di perjalanannya yaitu 400 ringgit uang yang diperlukannya.
Suatu hari ketika Haris mengajak Salina, salman dan hasyim untuk pindah ke
Malaysia, ajakan itu pun ditolak oleh H asyim, karena tak ingin meninggalkam
kampunh halamannya dan Negara tercintanya. Ia mengatakan, sejelek apapun
daerahnya, tak kan pernah berniat untuk meninggalkan ngara tercinta ynag
memiliki segudang kekayaan alam yang telah memberikan kehidupan baginya.
Melihat keteguhan hati sang kakek ,, akhirnya salman pun mengikuti kakeknya
utuk tetap tibggal didaerah operbatasan tersebut.Saat Salina bersama ayahnya
Haris berada di Malaysia,Sakit yang di diderita Hasyim pun kambuh, Salmanpun
bingung dan memanggil dokter intel. Salman dan dr. Intel membawa Hasyim kerumah
sakit ketika di perjalanan bensin yang ada pada deasel perahu yang ditumpangi
habis.Ketika dalam perjalan tersebut , Hasyim pun meninggal, dan membuat
salman bersedih. Saat itulah membuat sadar ayahnya haris untuk kembali ke
Indonesia.
Di dalam film ini terdapat sindiran-sindiran
untuk pemerintah Indonesia tentang kesejahteraan masyarakat pinggiran yang
seakan-akan terabaikan, seperti misalnya kenyataan bahwa orang di pinggiran
sana memakai uang ringgit untuk bertransaksi sehari-hari. Kemudian, untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, mereka harus berdagang ke Malaysia dan
barang-barang untuk kebutuhan sehari-harinya pun juga didapatkan dari pasar
Malaysia bukannya dari Indonesia dan tidak jarang pula mereka ditipu oleh
pedagang Malaysia. Begitu pula dalam hal teknologi, di film ini digambarkan
bahwa di daerah perbatasaan sana teknologi sangat tertinggal jauh, untuk
berkomunikasi saja masih menggunakan radio dan yang memiliki TV hanya ketua
dusun saja. Lalu, yang paling parah adalah ketika mereka tidak tahu bagaimana
bentuk bendera pusaka Indonesia dan juga tidak tahu lagu kebangsaan Indonesia
Raya karena minimnya pendidikan di sana. Sebenarnya, sindiran itu sudah bisa
dirasakan hanya dari membacanya judulnya saja, Tanah Surga… Katanya.
Namun, sindiran-sindiran tadi bukanlah hanya sekedar sindiran semata melainkan
pesan langsung yang dikemas melalui
sebuah film.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar